Sejarah Perang Diponegoro

Sejarah Perang Diponegoro

Penobatan Pangeran Menol

Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.

Pangeran Diponegoro juga menolak kalau Belanda menunjuk Pangeran Menol, yang masih berusia dua tahun, naik takhta.

Ada dua alasan yang mendasari penolakan ini, yaitu karena usia dan latar belakang ibu Pangeran Menol.

Abai dengan pendapat Pangeran Diponegoro, tujuh hari setelah kematian Sultan Hamengkubuwono IV, pemerintah Hindia Belanda menobatkan Pangeran Menol sebagai sultan.

Pangeran Diponegoro merasa Belanda sudah terlalu banyak mencampuri urusan keraton dan tidak dapat dibiarkan lagi.

Oleh sebab itu, Pangeran Diponegoro mulai menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.

Baca juga: Siapakah Nama Asli Pangeran Diponegoro?

Penderitaan rakyat akibat penjajahan

Dominasi Belanda di Yogyakarta membuat rakyat menderita karena dijadikan sebagai objek pemerasan.

Pada waktu itu, pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk kepentingan perkebunan.

Pada umumnya, tanah ini disewa dengan penduduknya sekaligus. Alhasil, para petani tidak dapat mengembangkan hidupnya karena harus menjadi tenaga kerja paksa.

Beban mereka pun semakin berat karena diwajibkan untuk membayar berbagai macam pajak, seperti pajak tanah, pajak halaman pekarangan, pajak jumlah pintu, pajak ternak, pajak pindah nama, dan pajak menyewa tanah atau menerima jabatan.

Di samping itu, masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol, di mana semua lalu lintas pengangkutan barang juga dikenai pajak.

Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.

Melihat penderitaan rakyat akibat kekejaman Belanda, Pangeran Diponegoro semakin mantab untuk melakukan perlawanan.

Baca juga: Mengapa Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Sangat Terkenal?

KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.

Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).

Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.

Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.

Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?

Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya

Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta

Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.

Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.

Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.

Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.

Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.

Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.

Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.

Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?

Penobatan Pangeran Menol

Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.

Suara.com - Foto Anies Baswedan memegang tongkat Pangeran Diponegoro kembali jadi sorotan di media sosial, baru-baru ini. Padahal sebetulnya itu merupakan momen lebih dari sembilan tahun yang lalu.

Anies, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), mewakili pemerintah Indonesia menerima langsung pengembalian Tongkat Kiai Cokro.

Perlu diketahui, tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro berbentuk setengah lingkaran ini disimpan selama 183 tahun oleh keluarga Baud di Belanda, yang pada 2015 mengembalikannya secara langsung pada pemerintah Indonesia.

Kini, kisah seputar benda peninggalan itu telah menciptakan gelombang spekulasi di media sosial. Beberapa pihak menganggap bahwa penyerahan tongkat Diponegoro kepada Anies Baswedan cukup mencuri perhatian.

Baca Juga: Bukan Hasto, Ternyata Sosok Ini yang Bisiki Megawati Pilih Pramono Anung-Rano Karno Maju di Pilgub DKI

Anies Baswedan pun disebut-sebut telah menikung Presiden Jokowi. Publik membaca kejadian ini sebagai langkah yang mengesankan Anies sebagai individu dengan pengaruh besar.

Mitos yang berkembang di masyarakat Jawa menyebutkan bahwa orang yang memegang tongkat sakti tersebut akan mendapatkan kekuatan dan pengaruh tertentu, menambah kontroversi terkait pengalihan penerima tongkat.

Isu ini diperkuat ketika jurnalis Andy Noya, dalam wawancaranya dengan Anies Baswedan pada tahun 2023, menanyakan tentang tuduhan bahwa Anies mungkin telah menelikung Jokowi dengan menerima tongkat Diponegoro.

Anies menjelaskan bahwa penyerahan tongkat tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah disepakati dan bahwa tidak ada niat untuk mengungguli Presiden Jokowi.

Pada saat itu, sejarawan Rushdy Hoesein menyatakan bahwa dia belum menemukan bukti apakah Pangeran Diponegoro pernah memiliki tongkat. Status sejarah dari tongkat pusaka tersebut masih belum jelas.

Baca Juga: Gagal Perjuangkan Anies, Partai Buruh Akan Absen Di Pilkada Jakarta

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, seperti foto dan lukisan di Museum Diponegoro, tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro memegang tongkat. Namun, melihat tongkat yang dipegang oleh Anies pada waktu itu, tampaknya tongkat tersebut bukanlah tongkat yang digunakan untuk berjalan.

Menurut Rushdy, tongkat itu lebih mirip dengan peralatan perang. Pada bagian atas tongkat terdapat ukiran, sementara bagian bawahnya tidak memiliki keistimewaan khusus dan bukan tongkat yang menyimpan keris di dalamnya.

Tongkat Pangeran Diponegoro: Ratu Adil Jawa

Rushdy mengidentifikasi bahwa tongkat milik Pangeran Diponegoro kemungkinan adalah alat perang. Sementara itu, sejarawan Peter Carey dalam karyanya "Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855" menyebutkan bahwa tongkat tersebut dikenal sebagai "Erucokro," gelar yang menunjukkan tongkat itu memiliki hubungan dengan konsep Ratu Adil Jawa.

Carey menjelaskan bahwa tongkat tersebut diartikan sebagai bagian dari perjalanan spiritual Diponegoro, dengan desain cakranya yang mirip dengan senjata Dewa Wisnu dalam mitologi Jawa.

Selama masa tinggal di Belanda, keluarga Baud pernah menceritakan tentang tongkat pusaka Pangeran Diponegoro. Tongkat ini diberikan kepada leluhur Baud pada tahun 1834, sebagai hadiah di tengah situasi politik yang penuh ketegangan dan ketidakstabilan kekuasaan kolonial, sebagaimana dijelaskan di situs web Kemendikbud.

Setelah meninggalnya ayahanda ahli waris Jean Chretien Baud pada 2012, tongkat tersebut disimpan di rumah saudara perempuannya, Erica. Pada Agustus 2013, Harm Steven dari Rijksmuseum menghubungi keluarga Baud untuk menginformasikan tentang asal-usul tongkat tersebut.

Tongkat Pangeran Diponegoro Diteliti Sejumlah Ahli

Tongkat itu telah diteliti oleh sejumlah ahli yang mengkonfirmasi keaslian dan pentingnya artefak tersebut. Keluarga, sebagai ahli waris dari berbagai periode sejarah, menyadari betapa signifikan penemuan ini dan merasa bertanggung jawab untuk merawatnya dengan baik.

Kemudian, keluarga membahas makna dan konteks pemberian tongkat pusaka tersebut oleh leluhur mereka. Dalam diskusi tersebut, muncul keputusan untuk mengembalikan tongkat itu ke Indonesia.

Keluarga berharap penyerahan tongkat Pangeran Diponegoro ini akan menjadi simbol penting dalam memasuki era baru yang penuh dengan saling menghormati, persahabatan, dan kebersamaan.

Selain tongkat, Raja Belanda Willem Alexander juga menyerahkan sebuah keris milik Pangeran Diponegoro kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2020. Penyerahan keris tersebut berlangsung saat pertemuan antara Raja Willem dan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Sebagaimana dilansir dari berbagai sumber, Raja Willem yang didampingi oleh Ratu Belanda Maxima, mengunjungi Istana Bogor pada hari Selasa, 10 Maret 2020 lalu.

Penyerahan keris, yang selama ini tersimpan di Belanda, dilakukan secara simbolis setelah pernyataan pers bersama antara Raja Willem dan Presiden Jokowi.

Seperti itulah sejarah Tongkat Pangeran Diponegoro hingga mitosnya tentang ratu adil Jawa.

Kontributor : Rishna Maulina Pratama

KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.

Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).

Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.

Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.

Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?

Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya

Sebab khusus Perang Diponegoro

Sebab khusus terjadinya perlawanan Pangeran Diponegoro adalah pematokan tanah oleh Belanda di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 1825, Belanda dengan sengaja menanam patok-patok untuk membuat jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal itulah yang membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak, dan menyatakan sikap perang terhadap Belanda.

Sebelum insiden patok tersebut, pada 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen Yogyakarta.

Tanpa diketahui sebabnya, tokoh Belanda ini dikenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro.

Ketiadaan pemimpin yang berwibawa di lingkungan keraton membuat para pejabat Belanda, termasuk Smissaert berbuat semaunya.

Smissaert bahkan selalu duduk di kursi yang disediakan untuk sultan ketika diadakan rapat resmi.

Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Milik Pangeran Diponegoro

Konflik pribadi antara Pangeran Diponegoro dengan Smissaert semakin tajam sesudah peristiwa saling mempermalukan di depan umum dalam sebuah pesta di kediaman residen.

Kala itu, Pangeran Diponegoro terang-terangan menentang Smissaert. Hal itulah yang membuat Smissaert bekerjasama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta.

Pada suatu hari di tahun 1825, Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang patok dalam rangka membuat jalan baru.

Pemasangan patok ini secara sengaja melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.

Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti patok-patok itu karena di tanah tersebut terletak makam leluhurnya.

Namun, Patih Danurejo memerintahkan untuk memasang kembali patok-patok itu dengan dikawal pasukan Macanan (pasukan pengawal Kepatihan).

Baca juga: Reog Bulkiyo, Warisan Prajurit Pangeran Diponegoro

Pengikut Pangeran Diponegoro kemudian merespon dengan mencabuti patok-patok yang baru saja ditanam dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka, sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.

Berita insiden patok ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, dan setelah itu meletuslah Perang Diponegoro pada 20 Juli 1825.

Kemunculan ideologi Baharu

-Pimpinan Benito Mussolini dan Parti Fasis yang menguasai Itali pada 1922

-Fasisme: memberikan keutamaan kepada kepentingan negara melebihi kepentingan individu dan percayakan nasionalisme melampau termasuk berperang bagi meningkatkan imeg negara.

-Bagi memulihkan imej Itali meluaskan jajahan dengan kuasa Habsyah (Etiopia) dan Albania

-Pimpinan Adolf Hitler dan Parti Nazi yang menguasai Jerman 1933

-Nazisme: mengagungkan bangsa Jerman

-Hitler berusaha memulihkan nasionalisme Jerman dengan mengetepikan Perjanjian Versailles, membina angkatan tentera semula dan meduduki Rhineland semula(wilayah yang hilang semasa Perjanjian Versailles)

Ketidakpuasan Hati terhadap Perjanjian Versailles (Jerman dan Itali)

-menjejaskan kedaulatan negaranya

-kehilangan tanah jajahan

-perlu membayar pampasan perang tinggi menyebabkan kemelesetan ekonomi dan inflasi

Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa

Liga Bangsa-Bangsa sebagai badan keamanan dunia dan wujudkan kerjasama antarabangsa gagal untuk menguatkuasakan perjanjian pelucutan senjata dan menangani krisis pencerobohan yang berlaku selepas Perang Dunia I.

Ini menyebabkan dunia terdedah kepada konflik berterusan dan meletusnya Perang Dunia II.

Cabaran Liga Bangsa-Bangsa selepas Perang Dunia I

Krisis Manchuria (1931-1933)

-Jepun menakluki Manchuria, iaitu wilayah di bawah penguasaan China

Perjanjian Pelucutan Senjata (1932-1934)

-Jerman keluar daripada Liga Bangsa-Bangsa dan memperbesar angkatan tenteranya secara terbuka

Krisis Habsyah (1935-1936)

-Itali menyerang Habsyah di Afrika

if (CMS_Setting('theme_config')['welcome_running']){ return `` + CMS_Setting('theme_config')['welcome_text'] + ``; }else{ return CMS_Setting('theme_config')['welcome_text']; }

Perang Aceh adalah salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Perang Aceh sendiri merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1873-1912.

Sampai saat ini, sejarah perang Aceh masih menarik untuk diceritakan karena dalam catatan sejarah, perang ini menjadi salah satu perang terlama yang pernah terjadi di Aceh. Untuk lebih memahami sejarah perang yang terjadi di Aceh, simak penjelasannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penyebab Terjadinya Perang Aceh

Sejak abad ke-17, Belanda sudah berusaha menanamkan kekuasaannya di Aceh. Hal itu karena Aceh merupakan pusat perdagangan yang ramai, maka Aceh adalah tempat yang strategis, seperti dikutip dari Explore Sejarah Indonesia Jilid 2 untuk SMA/ MA Kelas XI oleh Dr. Abdurakhman, S.S. 2017.

Selain itu, Aceh juga memiliki banyak kekayaan alam, seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan yang melimpah sehingga Belanda sangat ingin menguasainya untuk mewujudkan Pax Neerlandica.

Namun hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan Belanda. Sebab rakyat Aceh menunjukkan segala upaya untuk mempertahankan kedaulatannya. Pada masa itu, Belanda juga memiliki kendala yaitu Traktat London yang disetujui pada 17 Maret 1824.

Traktat London adalah kesepakatan antara Inggris dan Belanda mengenai pembagian wilayah jajahan Nusantara dan Semenanjung Malaya. Berdasarkan traktat tersebut, Belanda tidak bisa mengganggu Aceh, karena wilayah tersebut telah masuk ke bagian jajahan Inggris.

Namun meskipun begitu, Traktat London rupanya tidak menghentikan Belanda, mereka mulai menguasai daerah Sibolga, pedalaman Tapanuli, Tanah Batak, Singkit, Barus, Serdang, dan Asahan.

Di tahun 1858, Belanda juga mengadakan perjanjian dengan Sultan Siak dan sampai pernah mengakui kedaulatan Belanda di Sumatra Timur.

Tidak berhenti sampai di situ, Belanda akhirnya mengumumkan peperangan terhadap rakyat Aceh. Dinilai mudah dikalahkan, ternyata Aceh memiliki semangat tinggi untuk mendapatkan Kembali tanah Aceh.

Dengan adanya barisan pemuda dan para pemimpin Aceh, perang ini menjadi salah satu perang terberat bagi Belanda dan dalam sejarah perang Aceh.

Perang dimulai pada 5 April 1857, di mana pasukan Belanda di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler mulai menyerang Aceh. Dengan kekuatan yang ada, para pejuang Aceh pun tidak tinggal diam dan mampu memberikan perlawanan sengit.

Belanda sempat melakukan penyerangan ke Masjid raya Baiturrahman, dan sempat menginstruksikan anak buahnya untuk menembakkan peluru ke arah Masjid. Akibatnya, masjid mulai terbakar dan pasukan Aceh mulai berbondong-bondong meninggalkan masjid.

Belanda akhirnya berhasil menguasai masjid pada 14 April 1873. Namun Mayor Jenderal Kohler diketahui tewas dalam sengitnya pertempuran di masjid ini.

Setelah berhasil menguasai masjid, 9 Desember 1873 pasukan Belanda pun Kembali mendarat di Pantai Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Jenderal J.van Swieten, seorang pemimpin baru yang akan mengepalai pergerakan Belanda.

Melihat kedatangan Belanda, pasukan Aceh pun tidak tinggal diam hingga akhirnya meluncurkan berbagai serangan. Namun sayangnya pasukan Aceh harus mengalah dan mundur karena persenjataan Belanda jauh lebih lengkap.

Pada 24 Januari 1874, pasukan Belanda Kembali menduduki istana. Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang lain telah terlebih dahulu meninggalkan istana hingga pada akhirnya 4 hari setelahnya Sultan wafat akibat wabah kolera.

Setelah berhasil menguasai Masjid dan istana, Belanda akhirnya mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh. Namun karena beliau masih di bawah umur, Tuanku Hasyim Banta Muda pun diangkat sebagai walia atau pemangku sultan sampai tahun 1884.

Tidak berhenti sampai di sini, Belanda pun terus melanjutkan perang sampai ke daerah hulu. Posisi Letnan Jenderal Van Swieten pun sudah digantikan dengan Jenderal Pel. Setelah itu mereka pun mulai membangun pos-pos pertahanan di Kutaraja, Krueng Aceh, dan Meuraksa dengan kekuatan sekitar 2.759 pasukan.

Melihat pertambahan pasukan Belanda, pejuang Aceh pun tidak gentar dan tetap semangat. Di Aceh Barat peperangan dipimpin oleh Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien hingga meluas sampai ke Meulaboh. Dengan semangat jihad, mereka pun menerapkan strategi baru yang disebut Konsentrasi Stelsel.

Berbagai kegagalan dalam pertempuran melawan rakyat Aceh akhirnya membuat Belanda mulai geram dan menugaskan Dr. Snouck Hurgronje untuk menganalisis kelemahan dari pasukan Aceh. Akhirnya, ia pun mengusulkan beberapa cara untuk menaklukkan Aceh, yaitu:

Untuk melaksanakan usulan-usulan tersebut, pada 1898 Kolonel J.B van Heutsz diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Aceh. Dengan berbagai macam persiapan akhirnya mereka pun melancarkan beberapa serangan untuk menggempur Aceh.

Di bagian Aceh Barat, Teuku Umar juga merencanakan penyerangan besar-besaran ke Meulaboh. Namun ternyata rencana ini berhasil diketahui Belanda dan malah terjadi serangan balik yang sengit pada 1899.

Dalam pertempuran tersebut akhirnya Teuku Umar pun gugur, sedangkan pasukan Cut Nyak Dien terus melakukan perlawanan.

Di bawah kepemimpinan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem perang gerilya terus dilakukan, sampai akhirnya Muhammad Daud menyerah. Sementara Panglima Polem ditangkap bersama istri dan keluarganya.

Perang mulai mereka setelah Cut Nyak Dien berhasil ditangkap lalu diasingkan oleh Belanda sampai akhirnya wafat pada 8 November 1908. Perang selanjutnya dilanjutkan oleh Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggroe.

Sampai pada akhirnya Oktober 1910, keduanya gugur dan perang resmi berakhir secara massal pada tahun tersebut.

Demikian sejarah perang Aceh. Semoga semangat juang para pendahulu selalu dapat menginspirasi generasi muda untuk terus mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Nationalgeographic.co.id—Selama Perang Salib ketujuh, Pasukan Salib membuat kemajuan yang sangat lambat menghadapi kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Sebagian besar pasukan berbaris di sepanjang Sungai Nil, berbaris di sepanjang tepi sungai.

Kapal-kapal yang dapat membawa perbekalan dan peralatan dalam jumlah besar, ikut berperang melawan angin yang berlawanan.

Pada titik ini, akhir November 1249 M, As-Salih Ayyub meninggal karena penyakitnya. Para perwira Bahris, yang dipimpin oleh komandan mereka Fakhr al-Din, kemudian turun tangan untuk melanjutkan perang melawan Pasukan Salib dengan lancar.

Setelah 32 hari, Pasukan Salib berkemah di seberang kamp Muslim dekat Mansourah, yang dilindungi oleh cabang sungai dan benteng.

Kedua kubu kini menggunakan mesin ketapel besar untuk saling membombardir dengan tembakan artileri. Serangan mendadak dan pemboman tanpa henti terjadi selama enam minggu.

Sejarah Perang Salib ketujuh akhirnya menemui kebuntuan. Raja Louis yang memimpin Pasukan Salib kemudian ditawari harapan hidup oleh beberapa pengkhiatan dari Pasukan Muslim.

Pengkhianat dari Pasukan Muslim memberitahukan, bahwa kamp musuh dapat didekati dari belakang dengan menyeberangi sungai lebih jauh ke hilir.

Pada tanggal 8 Februari 1250 M, Raja Louis mulai bergerak dan sejumlah besar ksatria berkumpul di tempat di sungai yang ditunjukkan oleh pengkhianat Pasukan Muslim.

Meski harus turun dan menyuruh kudanya berenang menyeberang, pasukan ksatria yang maju berhasil mencapai sisi lain.

Kemudian, pemimpin mereka, Robert dari Artois, membuat keputusan bodoh dengan segera menyerang kamp musuh sebelum para ksatria lainnya menyeberangi sungai di belakangnya.

Meskipun Fakhr al-Din terbunuh dalam serangan pertama, keputusan terburu-buru Robert untuk mengejar Pasukan Muslim yang melarikan diri ke kota Mansourah membuktikan kesalahannya yang kedua dan terakhir.

Begitu berada di dalam kota, para ksatria Robert dikepung dan, dipisahkan oleh jalan-jalan sempit, dibantai.

Pasukan Muslim, yang berkumpul kembali setelah serangan awal, kemudian melakukan serangan balik terhadap Raja Louis dan pasukan ksatrianya yang baru saja menyeberangi sungai.

Dalam pertempuran sepanjang sejarah Perang Salib ketujuh yang makin kacau dan berdarah yang terjadi setelahnya, Raja Louis hanya berhasil mempertahankan posisinya sampai bala bantuan tiba dari kamp utama Pasukan Salib di penghujung hari.

Ilustrasi abad ke-14 M tentang Raja Louis IX dari Prancis (memerintah 1226-1270 M) yang memimpin Perang Salib ketujuh.

Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah mundur ke tempat yang aman di Mansourah namun sebagian besar tetap utuh. Selain itu, pada akhir Februari, Sultan baru dan putra as-Salih, al-Mu'azzam Turan Shah telah tiba di Mansourah bersama dengan perbekalan dan bala bantuan penting.

Pasukan Salib, di sisi lain, tidak mempunyai persediaan pasokan sekarang. Hal itu karena kamp mereka telah terputus dari Damietta oleh armada kapal Pasukan Muslim, dan kelaparan serta penyakit segera merajalela di kamp mereka.

Akhirnya, pada tanggal 5 April 1250 M, Raja Louis memerintahkan mundur. Pasukan barat, jumlahnya makin berkurang karena penyakit, kelaparan, dan serangan terus-menerus dari Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah.

Dalam waktu dua hari, Pasukan Salib hampir musnah sebagai kekuatan yang efektif. Pasukan Salib yang tersisa, hanya setengah jalan kembali ke Damietta dan lansung menyerah.

Sementara itu, raja Louis dari Prancis, yang menderita disentri parah langsung ditangkap. Louis dibebaskan pada tanggal 6 Mei 1250 M, tetapi hanya setelah pembayaran uang tebusan yang besar untuk dirinya sendiri.

Uang tebusan untuk membebaskan Raja Louis adalah sebesar 400.000 livres tournois untuk sisa pasukannya yang ditangkap, dan penyerahan Damietta yang dikuasai Kristen.

Setidaknya, diperkirakan Raja Louis kehilangan 1,5 juta livre tournoi selama sejarah Perang Salib ketujuh. Jumlah tersebut sekitar 6 kali lipat pendapatannya sebagai Raja Prancis.

Terlepas dari kerugian material, bahaya fisik hingga penangkapannya, Raja Louis IX akan kembali beraksi. Ia akan kembali memimpin Pasukan Salib di akhir masa pemerintahannya yang panjang, ketika ia memimpin Perang Salib kedelapan pada tahun 1270 M.

Raja Louis tidak kembaliSetelah bebas, Rajau Louis tidak kembali ke kampung halamannya dengan rasa malu. Ia tetap memilih tetap tinggal di Timur Tengah selama empat tahun lagi.

Selama waktu itu, dia mengawasi refortifikasi markasnya di Acre, serta benteng di Sidon, Jaffe, dan Kaisarea. Louis juga menciptakan kekuatan baru yang inovatif yang terdiri dari 100 ksatria dan pelengkap panah otomatis.

Tidak seperti para ksatria sebelumnya, yang ditempatkan di kota-kota atau kastil-kastil strategis tertentu, pasukan ini digunakan di mana pun mereka paling dibutuhkan untuk melindungi kepentingan Kerajaan Latin di Timur Tengah.

Menariknya, meskipun Pasukan Salib gagal dalam sejarah Perang Salib ketujuh, mereka berkontribusi besar terhadap jatuhnya Kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Kekaisaran Ayyubiyah ditaklukkan oleh Mamluk pada Mei 1250 M.

Pergantian kekuasaan terjadi ketika kelompok perwira Mamluk membunuh Turan Shah. Terjadilah pertikaian faksi yang sengit selama sepuluh tahun antara para bangsawan Ayyubiyah dan para jenderal militer.

Hingga akhirnya, kaum Mamluk menetapkan diri mereka sebagai penguasa baru di bekas wilayah Kekaisaran Ayyubiyah. Meskipun Aleppo dan Damaskus tetap berada di bawah kendali para pangeran Kekaisaran Ayyubiyah.

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta

Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.

Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.

Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.

Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.

Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.

Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.

Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.

Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?